IPB: Negara Harusnya Bisa Wakaf Hutan

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Syariah IPB University Khalifah Muhammad Ali menjelaskan, wakaf hutan bisa dilakukan oleh negara. Meski demikian, pemerintah saat ini belum memiliki regulasi untuk melakukan wakaf hutan.

“Adapun wakaf dalam bentuk lain yang sudah dan sering dilakukan adalah mewakafkan lahan untuk masjid,” ujar Khalifah yang merupakan Ketua Yayasan Hutan Wakaf Bogor saat diskusi daring pada Kamis (14/9/2023).

Dia menjelaskan, negara bisa melakukan wakaf hutan di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang memiliki hutan sekitar 120 juta hektare. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2020, sekitar 50,9 persen (95,6 juta ha) dari total luas daratan Indonesia adalah hutan, dengan 92,5 persen (88,4 juta ha) termasuk dalam kawasan hutan.

World Resources Institute-Indonesia bahkan menempatkan Indonesia sebagai tempat dari tiga hutan hujan tropis terbesar di dunia. Hal tersebut merupakan komponen yang sangat memengaruhi perubahan iklim dan penjagaan ekosistem darat baik tingkat nasional maupun internasional.

Namun, dalam 25 tahun terakhir Indonesia telah kehilangan hampir 25 persen dari tutupan hutannya. Transformasi fungsi hutan menjadi kawasan industri menjadi salah satu penyebab utama deforestasi yang terjadi. Di sisi lain, salah satu keunggulan wakaf adalah nilai pokoknya yang ditahan. Ketahanan status aset ini agar tidak berpindah tangan membuat pembiayaan dengan cara wakaf terbilang strategis untuk mengatasi krisis lingkungan.

Untuk itu, Khalifah menjelaskan,  Biswaf IPB Pegiat hutan wakaf IPB dan Yayasan Hutan Wakaf Bogor dalam waktu dekat akan melakukan riset dan audiensi agar wakaf hutan oleh negara bisa terlaksana.

Khalifah mengungkapkan, praktik yang selama ini sudah dilakukan adalah wakaf hutan melalui perorangan. Mereka mewakafkan lahan yang dimanfaatkan sebagai hutan. Cara lainnya, mereka mendonasikan sejumlah uang yang ditujukan untuk membeli atau membebaskan lahan yang diperuntukkan sebagai hutan berstatus wakaf. Selain perorangan, dia menjelaskan, wakaf ini bisa dilakukan lewat perusahaan.

Lebih lanjut, Khalifah mengungkapkan, penentuan lokasi lahan perlu dilihat dari empat hal. Pertama, dari sisi hukum. Wakif harus memastikan bahwa hutan yang akan diwakafkan adalah lahan yang berada di kawasan pribadi dan masih kawasan hutan. Hal ini dibuktikan dengan dokumen tanah yang lengkap. Selain itu, pemanfaatannya sesuai dengan rencana tata ruang wilayah saat ini.

Penentuan lokasi juga harus melihat aspek fisik dan nonfisik. Artinya, lahan yang diwakafkan merupakan tanah yang baik, masih berupa hutan atau jika memang berupa lahan kritis tetap masih bapat dijadikan hutan dengan penanaman kembali. Selain itu, lahan rentan terhadap bencana alam seperti longsor atau banjir sehingga dapat mencegah perubahan lahan dan nantinya dapat bermanfaat sebagai pencegah bencana dan dekat dengan sumber air. Ketiga, dalam menentukan lokasi juga perlu melihat nilai dan manfaat konservasi. Keempat adalah manajemen.

Setelah wakif mewakafkan lahan maka diperlukan legalitas atau pengakuan secara hukum. Dengan demikian, tidak akan ada masalah ke depan seperti soal waris atau dihibahkan kembali. Proses legalitas ini dilakukan oleh nazir wakaf atau pengelola wakaf dengan membuat akta ikrar wakaf di KUA kecamatan lokasi hutan wakaf. Wakif kemudian dapat mengajukan permohonan sertifikat tanah wakaf kepada BPN kabupaten setempat.

Keempat, optimalisasi hutan wakaf. Dia menjelaskan, pengembangan hutan wakaf harus memperhatikan enam hal diantaranya, segi hukum harus memastikan status hukum tanah wakaf terdaftar secara sah di kementerian terkait dan memastikan persentase tutupan hutan mencakup lebih dari 50 persen kanopi pohon.

Dari sisi ekologi, perlu memperhatikan pemilihan jenis tanaman yang tepat jenis pionir (60 persen), semiklimaks (20 persen), dan klimaks (20 persen). Dia pun mengungkapkan, harus ada prioritas tanaman asli minimal 30 persen. Hutan juga harus menghindari tanaman invasif. Penetapan zonasi eks atau kawasan lindung, kawasan pemanfaatan pengunjung, dan kawasan pemeliharaan juga mesti diperhatikan nazir yang mengelola hutan wakaf.

Dia mengungkapkan, hutan wakaf dapat menyediakan fasilitas peribadatan seperti mushala. Nazir mesti memastikan pengunjung dapat beribadah dan terlibat dalam kegiatan Islam serta menyediakan simbol Islami sebagai pengingat untuk menjunjung tinggi nilai-nilai Islam.

Dari sisi ekonomi, nazir bisa mempraktikkan agroforestri sehingga dapat membantu masyarakat lokal memperoleh pendapatan tanpa merusak hutan. Caranya dengan merancang ekowisata agar masyarakat setempat memperoleh penghasilan dengan bertindak sebagai pemandu wisata dan memenuhi kebutuhan pengunjung serta memakmurkan proyek kemitraan dalam dana dan kegiatan.

Untuk sisi sosial, nazir harus memperhatikan komunitas lokal dan melestarikan kearifan lokal sepanjang sejalan dengan Islam dan nilai-nilai konservasi serta melakukan kegiatan berbasis pendidikan konservasi. Nazir juga seyogianya mewariskan wakaf dan semangat konservasi kepada generasi mendatang. Dari sisi estetika, nazir dapat mempertahankan kualitas lanskap hutan yang tertata dengan baik akan meningkatkan kepuasan pengguna.

 

Loading

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *