Unsur Asasi Pelaksanaan Wakaf

Pelaksanaan wakaf, secara umum, baik wakaf benda tidak bergerak—seperti toko, dan tanah—maupun wakaf benda bergerak—seperti uang—membutuhkan empat unsur asasi, yaitu:[1]

1. Wakif (orang yang mewakafkan hartanya)

2. Mauquf (harta yang diwakafkan)

3. Mauquf  alaih (pihak yang mendapatkan manfaat dari harta wakaf/peruntukan harta benda wakaf).

4. Shighah (ikrar wakaf atau pernyataan pemberian dan penerimaan wakaf).

 

 

Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa pelaksanaan wakaf menuntut adanya empat unsur asasi tersebut. Kalau tidak, wakaf tidak sah.

 

 

Semua ulama fikih sepakat bahwa wakaf tanpa keempat unsur tersebut adalah tidak sah. Namun, ada sebagian ulama fikih yang menyebut keempat unsur asasi wakaf tersebut sebagai rukun wakaf. Tetapi ada pula ulama fikih yang menyebut sebagiannya saja sebagai rukun wakaf. Perbedaan pendapat tentang apakah keempat unsur asasi wakaf tersebut disebut rukun wakaf atau tidak disebut rukun wakaf adalah perbedaan istilah saja.

 

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf mengukuhkan kesepakatan ulama bahwa pelaksanaan wakaf menuntut adanya empat unsur asasi tersebut. Kalau tidak, wakaf tidak sah.  Namun, undang-undang tersebut menambah unsur-unsur asasi wakaf tersebut sehingga menjadi enam. Dua unsur itu ialah nazhir dan jangka waktu wakaf.

 

5. Nazhir

Semua ulama fikih sepakat bahwa nazhir tidak termasuk unsur asasi wakaf. Nazhir tidak termasuk unsur yang mewujudkan wakaf karena wakaf sudah dapat terwujud meskipun nazhir tidak ditentukan atau ditunjuk pada saat akad ikrar wakaf dilaksanakan. Nazhir dapat ditunjuk kemudian oleh hakim di mahkamah apabila wakif tidak menetapkan nazhirnya.

 

6. Jangka waktu wakaf

Semua ahli fikih juga sepakat bahwa jangka waktu wakaf tidak termasuk unsur asasi wakaf. Dengan demikian, jumlah unsur-unsur wakaf menurut fikih hanya empat, sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 ada enam (Lihat Pasal 6).

 

Nazhir Wakaf

Adanya nazhir (pengelola) dalam pelaksanaan wakaf termasuk salah satu unsur yang membuat wakaf tidak sama dengan infak-infak yang lain. Dalam wakaf terdapat nazhir, sedangkan dalam infak-infak lain—seperti zakat, hadiah, dan hibah—tidak terdapat nazhir (pengelola).

 

Sebabnya ialah dalam wakaf terdapat aset yang harus terpelihara sebaik mungkin dan selama mungkin. Aset wakaf lepas dari hak milik wakif dan tidak menjadi hak milik mauquf alaih, tetapi menjadi milik Allah Swt. Dengan cara ini, wujud aset wakaf akan aman dari penguasaan orang lain melalui jual beli, sewa-menyewa, hibah, waris, dan lain sebagainya. Tujuan keamanan aset wakaf ialah agar aset wakaf dapat berdaya guna dan memberikan manfaat selama mungkin bagi mauquf alaih.

 

Dari sistem nazhir dalam wakaf ini dapat dipahami pula bahwa Islam memandang peran manusia dalam pendayagunaan suatu kekayaan sangat penting.

 

Pengertian Nazhir

Dr. Muhammad az-Zuhaili menyebutkan pengertian nazhir dalam syariat Islam sebagai berikut. “Yang melaksanakan pengurusan dan pengelolaan wakaf (nazhir) adalah pihak yang melaksanakan pengurusan dan pengelolaan, pengaturan, pemeliharaan, penginvestasian harta kekayaan wakaf, baik terdiri atas satu orang atau kelompok, baik orang maupun badan hukum. Dalam fikih, pihak yang melaksanakan pengurusan dan pengelolaan wakaf tersebut dinamakan nazhir wakaf.”[2]

 

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf sejalan dengan apa yang dikemukakan Dr. Muhammad az-Zuhaili di atas. Pasal 9 menyebutkan bahwa Nazhir meliputi perseorangan, organisasi, atau badan hukum.

 

Tugas Nazhir

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 11 mengemukakan bahwa tugas nazhir adalah:

1. melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;

2. mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya;

3. mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;

4. melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.

 

Namun, nazhir perlu mengetahui pedoman pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf. Sebab, Pasal 43 menyebutkan bahwa yang menjadi pedoman dalam pengeloaan wakaf adalah prinsip syariah. Oleh sebab itu, nazhir profesional harus mempunyai ilmu pengetahuan sesuai bidang tugasnya. Nazhir profesional wakaf uang, misalnya, di samping harus mempunyai ilmu pengetahuan di bidang ekonomi, ia harus mengetahui pula manajemen pengelolaan wakaf yang telah dikemukakan para mujtahid dalam buku-buku fikih.

 

Penunjukan Nazhir

Dalam pembahasan fikih dijelaskan bahwa wakif berhak menunjuk nazhir dan boleh menunjuk dirinya sendiri atau orang lain. Berikut penjelasannya.

 

1. Wakif menunjuk nazhir wakafnya

Asy-Syirazî mengatakan, ”Pengelolaan wakaf mengikuti ketentuan Wakif.”[3] Dasar hak wakif menunjuk nazhir wakafnya ialah praktik kenazhiran wakaf pada masa Rasulullah saw dan masa sahabat. Pada masa itu, yang menunjuk nazhir adalah wakif sendiri. Asy-Syirâzî menyatakan, “Dasarnya ialah karena para sahabat berwakaf dan menunjuk orang yang menjadi nazhir atas harta wakaf mereka.”[4]

 

Di antara para sahabat Nabi yang mewakafkan hartanya lalu menjadi nazhir atas wakafnya ialah Umar bin Khaththab r.a., Ali bin Abu Thalib r.a., dan Fatimah r.a.

 

Buktinya, Umar r.a. berwakaf sesuai petunjuk Nabi saw dan—sepanjang pengetahuan kami—ia tetap menjadi nazhir wakafnya sampai ia wafat. Begitu pula Ali tetap menjadi nazhir wakafnya sampai wafat. Demikian juga Fatimah tetap menjadi nazhir wakafnya sampai wafat.[5]

 

Penunjukan nazhir oleh wakif sendiri merupakan hak, bukan kewajiban. Buktinya, para fuqaha membahas kemugkinan wakif tidak menunjuk nazhir bagi harta wakafnya, sebagaimana akan dijelaskan.

 

2. Wakif dapat menunjuk dirinya sendiri atau orang lain

Sesuai dengan hak wakif untuk menunjuk nazhir wakafnya, maka ada wakif yang menunjuk dirinya sendiri maupun menunjuk orang lain sebagai nazhir wakafnya. Wakif boleh menunjuk dirinya sendiri menjadi nazhir wakafnya.[6] Wakif juga boleh menunjuk orang lain menjadi nazhir bagi wakafnya.

 

Al-Muthi‘î mengatakan, “Jika wakif boleh menunjuk dirinya sendiri menjadi nazhir wakafnya atau menunjuk orang lain menjadi nazhir wakafnya, maka penunjukannya tersebut diikuti dan dilaksanakan, seperti syarat-syarat lain yang ditentukannya.”[7]

 

3. Wakif dapat menunjuk lebih dari satu orang lain sebagai nazhir

Wakif dapat menunjuk orang lain sebagai nazhir wakafnya. Di antara yang menarik perhatian dalam hal ini ialah:

a. wakif dapat menunjuk lebih dari satu orang sebagai nazhir wakafnya;

b. penolakan calon wakif.

 

Bagaimana jika calon yang dikemukakan wakif tidak memenuhi syarat? Bolehkah hal itu ditolak? Jika boleh ditolak, siapa yang layak menjadi penggantinya?

 

Al-Muthi‘î mengatakan, ”Jika wakif menunjuk dua orang anaknya yang paling utama sebagai nazhir wakafnya, tetapi ternyata hanya satu orang saja dari anaknya yang mempunyai keutamaan menjadi nazhir, maka anaknya yang tidak mempunyai keutamaan menjadi nazhir perlu diganti. Yang berwenang menggantinya adalah hakim (di pengadilan). Jadi, nazhirnya tetap dua orang  karena wakif ingin agar nazhir wakafnya terdiri atas dua orang.”[8]

 

Mengapa mereka ditolak? Apa alasannya?

 

Tampaknya para ulama lebih mengutamakan realisasi tujuan wakif ketimbang keinginannya. Realiasi tujuan wakaf memerlukan nazhir yang memiliki kecakapan.

 

Setelah mempelajari kasus wakif yang menunjuk dua orang anaknya tersebut di atas, tampak adanya celah, dalam kajian fikih, bagi pihak pelaksana wakaf dalam Islam untuk mengatur manajemen Nazhir wakaf agar lebih baik.

 

Secara umum, pandangan ahli fikih tentang hak wakif dalam menunjuk nazhir mendapat perhatian dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf  (Lihat Bab II Tentang Nazhir).

 

4. Wakif tidak menunjuk nazhir

Jika wakif tidak menggunakan haknya untuk menunjuk dirinya sendiri maupun orang lain menjadi nazhir wakafnya, siapakah yang menjadi nazhir wakafnya?

 

Asy-Syirâzî menyatakan, “Kalau wakif tidak menunjuk nazhir wakafnya, para ahli fikih mazhab Syafii berbeda pendapat tentang penunjukan nazhir wakafnya. Pertama, diserahkan kepada wakif karena hak melaksanakan tugas pengelolaan wakaf ada pada wakif. Kalau wakif tidak menunjuk siapa yang menjadi nazhirnya, maka tugas pengelolaannya kembali kepada wakif sendiri. Kedua, diserahkan kepada mauquf alaih karena hasil wakaf yang diberikan kepadanya menjadi haknya. Jadi, tugas pengelolaannya menjadi haknya juga. Ketiga, diserahkan kepada hakim (qadhi) karena hak mauquf alaih dan hak orang berikutnya terkait dengan hakim. Dengan demikian, hakim lebih berhak daripada yang lain untuk menjadi nazhir.”[9]

 

Pandangan fikih di atas memberikan peluang kepada pengatur perwakafan dalam mengatur pengangkatan nazhir sehingga harta wakaf dapat diserahkan kepada wakif, mauquf alaih, hakim, maupun pihak lain.

 

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf tidak menegaskan siapa yang berhak menunjuk nazhir. Namun, Pasal 45 ayat (2) menyebutkan bahwa pemberhentian dan penggantian nazhir dilaksanakan Badan Wakaf Indonesia.

 

Bagaimanapun juga, wakif boleh tidak menunjuk nazhir wakafnya.

 

Syarat-Syarat Nazhir

Tidak semua orang pantas menjadi nazhir wakaf. Dalam kajian fikih, syarat nazhir ada dua, yaitu ‘adâlah (ketakwaan) dan kemampuan.

 

1. ‘Adâlah (ketakwaan)

Para ahli fikih sepakat bahwa nazhir harus ‘adâlah. Arti ‘adâlah di sini ialah ketakwaan. Akan tetapi timbul perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih tentang tingkatan ‘adâlah yang diperlukan nazhir, apakah ‘adâlah lahiriah atau batiniah.

 

Ada yang berpendapat bahwa ‘adâlah yang harus dipenuhi nazhir ialah ‘adâlah zhâhirah (ketakwaan lahiriah). Di antara pendukung pendapat ini ialah as-Subkî.

 

Syirazy mengatakan, ”Syarat nazhir ialah ‘adâlah batiniah secara mutlak. Demikian kesimpulan al-Adzra‘î. Kesimpulan ini dicapainya setelah melakukan tarjih (perbandingan antara beberapa pendapat dan dalil-dalilnya yang terkuat).”[10]

 

As-Subkî berpendapat lain. Menurutnya, nazhir tidak harus mempunyai ‘adâlah batiniah, tetapi cukup lahiriah saja.

 

Pengertian ‘adâlah zhâhirah menurut penjelasan Bakri ialah, “Orang yang tidak dikenal dalam pergaulannya sebagai pelaku kefasikan (maksiat) dan tidak pula pelaku yang layak diberi pujian.”[11]

 

Menurut Zakaria al-Ansharî, ‘adâlah zhâhirah ialah, ”Orang yang secara lahiriah dikenal sebagai orang yang bertakwa (disiplin).”[12]

 

Ada yang berpendapat bahwa ‘adâlah yang diperlukan pada nazhir ialah ‘adâlah bâthinah (ketakwaan batin). Bagaimana cara membuktikannya? Ibnu Hajar al-Haitsamî mengatakan, ”‘Adâlah batiniah dapat diketahui dari pujian (bahwa kelakuannya benar-benar baik).”[13] Bukti pujian yang paling baik dan kuat ialah dari hakim pengadilan.

 

2. Mempunyai kemampuan yang cukup

Asy-Syîrâzî menyatakan, “Di samping itu nazhir harus mempunyai kemampuan yang cukup tentang tugas yang dipikulnya, baik tugas pengelolaan wakaf secara umum maupun tugas pengelolaan harta wakaf secara khusus dan terbatas.”[14]

 

Arti kemampuan yang cukup ialah mempunyai pengetahuan dan kepandaian tentang tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya.

 

Dasar adanya syarat ini ialah qiyas. “Tugas nazhir disamakan dengan tugas pemegang wasiat dan wali anak yatim. Faktor penyamaan tugas nazhir dengan tugas pemegang wasiat dan wali anak yatim ialah keduanya termasuk wilayah (wewenang melakukan tindakan hukum) atas orang lain.”[15]

 

Sesuai dengan syarat di atas, nazhir harus mempunyai ilmu pengetahuan yang memungkinkannya melaksanakan tugasnya.Pengetahuan yang diperlukan nazhir ada dua bidang, yaitu:[16]

1. Pengetahuan tentang hukum-hukum wakaf, hukum-hukum perwakilan, dan hukum-hukum pemegang wasiat. Sebab, peran nazhir sebagai wakil dari wakif ketika wakif masih hidup dan sebagai pemegang wasiat setelah wakif wafat.

2. Pengetahuan tentang tugas yang dipikulnya, sesuai bidang wakaf yang dikelolanya. Nazhir wakaf uang, misalnya, harus mengetahui tugas-tugas tentang pengelolaan wakaf uang terutama investasi. Sebab itu, nazhir wakaf uang perlu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan tentang perwakafan uang dan pelayanan wakaf uang kepada masyarakat.

 

Semakin dalam ilmu pengetahuan nazhir dan semakin kuat amanatnya dalam mengelola wakaf uang, maka semakin kecil kemungkinan penyelewengannya dan semakin tinggi manfaat yang dapat disumbangkannya kepada masyarakat.

 

Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS an-Nisâ’: 10).

 

Syarat pertama, yaitu ‘adâlah, mengandung makna bahwa nazhir harus:

a. Orang Islam

Kedua syarat tersebut di atas mengandung makna bahwa nazhir harus muslim, tanpa mempersoalkan jenis kelamin, apakah laki-laki atau perempuan. Syarat ini berlaku pada wakaf untuk orang Islam (mauquf alaihnya orang Islam) atau untuk masjid. Sedangkan Nazhir wakaf untuk nonmuslim boleh dari nonmuslim juga.[17]

 

b. Baligh dan berakal

Karena nazhir bertugas melakukan tindakan hukum mengenai harta, maka mau tidak mau nazhir haruslah orang yang sudah baligh. Sebab, anak-anak dipandang belum cakap melakukan tindakan hukum di bidang harta.

 

c. Amanat, tidak khianat [18]

Adapun syarat kedua, yaitu mempunyai kemampuan yang cukup, mengandung makna bahwa nazhir harus mengetahui hukum-hukum dalam Islam, terutama yang berhubungan dengan tugasnya.

 

Nazhir Wakaf Uang

Syarat-syarat tersebut di atas berlaku juga bagi nazhir wakaf uang. Pengaturan tentang nazhir wakaf uang dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan undang-undang tersebut.

 

Undang-Undang Wakaf menetapkan syarat-syarat nazhir, tetapi lebih menekankan segi amanah (Pasal 10).

 

Nazhir Perempuan

Dari uraian di atas, baik dalam kajian fikih maupun Undang-Undang Wakaf, jelaslah bahwa kajian fikih dan Undang-Undang Wakaf sepakat bahwa perempuan dapat dan layak menjadi nazhir wakaf, selama memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan bagi nazhir.

 

Di atas sudah dijelaskan bahwa Fatimah, putri Rasulullah saw, pernah menjadi nazhir wakaf. Di antara para sahabat Nabi yang mewakafkan hartanya lalu menjadi nazhir atas wakafnya ialah Umar bin Khaththab r.a., Ali bin Abu Thalib r.a., dan Fatimah r.a.

 

Umar r.a. berwakaf sesuai petunjuk Nabi saw dan—sepanjang pengetahuan kami—ia tetap menjadi nazhir wakafnya sampai ia wafat. Begitu pula Ali tetap menjadi nazhir wakafnya sampai wafat. Demikian juga Fatimah tetap menjadi nazhir wakafnya sampai wafat.[19]

 

Di antara para sahabat Nabi yang mewakafkan hartanya lalu menjadi nazhir atas wakafnya ialah Umar bin Khaththab r.a., Ali bin Abu Thalib r.a., dan Fatimah r.a.

 

Buktinya, Umar r.a. berwakaf sesuai petunjuk Nabi saw dan—sepanjang pengetahuan kami—ia tetap menjadi nazhir wakafnya sampai ia wafat. Begitu pula Ali tetap menjadi nazhir wakafnya sampai wafat. Demikian juga Fatimah tetap menjadi nazhir wakafnya sampai wafat.[20]

 

*) Ditulis oleh Muhammad Anwar Ibrahim,  Dosen PTIQ Jakarta, anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat, dan ketua Dewan Pertimbangan Badan wakaf Indonesia 2011¬-2013.

 

**) Artikel  dimuat di Jurnal al-Awqaf, Vol. 5, No. 1, Januari 2012.

 

Editor: Nurkaib

 

 


[1] Wahbah az-Zuhailî, al-Fikih al-Islâmî wa Adillatuhu, X, h. 7606.

[2] Muhammad az-Zuhailî, al-Waqf adz-Dzurrî, h. 277.

[3] Asy-Syirâzî, al-Muhadzdzab, XVI, h. 612.

[4] Ibid.

[5] Al-Mâwardî, al-Hâwî al-Kabîr, VII, h. 511.

[6] Bakrî, I‘ânah ath-Thâlibîn, III, h. 164 .

[7] Al-Muthi‘î, al-Majmû‘, XIV, h. 615.

[8] Ibid., h. 613.

[9] Asy-Syîrâzî, XIV, h. 612.

[10] Ibid., XIV, h. 615.

[11] Bakrî, II, h. 216.

[12] Zakaria Al-Anshary, Hâsyiyah ‘ala al-Jamal, IV, h. 330.

[13] Ibnu Hajar al-Haitsamî, al-Fatâwâ al-Fiqhiyyah al-Kubrâ, II, h. 55.

[14] Asy-Syîrâzî, XIV, h.  615.

[15] Ibid.

[16] Nur binti Hasan Qorut, Nazhir al-Waqf, h. 149.

[17] Zaidah, al-Mufashshal, X, h. 453.

[18] Ibnu ‘Abidin, Hasyiyah, IV, h. 380.

[19] Al-Mâwardî, VII, h. 511.

[20] Ibid.

Loading

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *